PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Program keluarga berencana merupakan salah satu usaha penanggulangan masalah kependudukan. Keluarga Berencana dirumuskan sebagai upaya peningkatan kepedulian dan peran serta masyarakat melalui batas usia perkawinan, pengaturan kelahiran, pembinaan ketahanan keluarga, peningkatan kesejahteraan keluarga untuk mewujudkan keluarga kecil bahagia dan sejahtera (BKKBN, 2008).
Meskipun Indonesia telah melaksanakan program Keluarga Berencana (KB) sejak tahun 1970-an, sampai saat ini belum tercapai angka ideal kelahiran. Angka kelahiran saat ini mencapai 2,6% anak per wanita, belum mencapai angka ideal, yaitu 2,1% anak per wanita. Masyarakat yang berpendidikan rendah dan miskin cenderung memiliki tingkat kelahiran lebih tinggi. Sehingga, perhatian kepada masyarakat miskin masih tetap diperlukan. Untuk mencapai angka kelahiran ideal, jumlah akseptor keluarga berencana (KB) perlu ditingkatkan satu persen setiap tahun agar terjadi keseimbangan jumlah penduduk (Sianturi, 2005).
Pelaksanaan program KB, pemerintah telah memasyarakatkan metode alat kontrasepsi. Sesungguhnya sampai saat ini belum ada satu pun metode yang betul-betul ideal dan sesuai bagi setiap individu. Akseptor KB dengan metode apapun menghendaki agar cara kontrasepsi yang digunakan dapat berfungsi secara optimal dan tidak mengganggu aktifitas sehari-hari, serta efek samping yang sangat rendah. Berdasarkan hasil studi di Propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur (2001), efek samping kontrasepsi terbanyak yang diketahui adalah pil (28,8%), suntikan (24,9%), IUD (15,3%), kondom (6,1%), dan vasektomi (4,3%), sedangkan efek samping yang banyak dikeluhkan adalah mual, timbulnya jerawat, dan penambahan berat badan (BKKBN, 2003 Cit. Andayani, 2008).
Pemilihan alat kontrasepsi pada umumnya merupakan satu keputusan yang dilandaskan berbagai pertimbangan dari akseptor serta berkaitan dengan pilihan pribadi. Banyak wanita harus menentukan pilihan kontrasepsi yang sulit. Tidak hanya karena terbatasnya jumlah metode yang tersedia, tetapi juga karena metode-metode tersebut mungkin tidak dapat diterima sehubungan dengan kebijakan nasional KB, kesehatan individual, dan seksualitas wanita atau biaya untuk memperoleh kontrasepsi. Pemilihan suatu metode ber-KB pada wanita harus menimbang berbagai faktor, termasuk status kesehatan mereka, efek samping potensial suatu metode, konsekuensi terhadap kehamilan yang tidak diinginkan, besarnya keluarga yang diinginkan, kerjasama pasangan, dan norma budaya mengenai kemampuan mempunyai anak. Setiap metode mempunyai kelebihan dan kekurangan. Namun demikian, meskipun telah mempertimbangkan untung rugi semua kontrasepsi yang tersedia, tetap saja terdapat kesulitan untuk mengontrol fertilitas secara aman, efektif, dengan metode yang dapat diterima, baik secara perseorangan maupun budaya pada berbagai tingkat reproduksi. Tidaklah mengejutkan apabila banyak wanita merasa bahwa penggunaan kontrasepsi terkadang problematis dan mungkin terpaksa memilih metode yang tidak cocok dengan konsekuensi yang merugikan atau tidak menggunakan metode KB sama sekali (Anonim, 2008).
Kontrasepsi hormonal merupakan salah satu metode kontrasepsi yang paling efektif dan reversibel untuk mencegah terjadinya konsepsi. Kebanyakan kontrasepsi hormonal diberikan secara oral. Sediaan yang mengandung progesteron saja dapat berupa pil, depo dalam bentuk injeksi. Kontrasepsi oral adalah jenis kontrasepsi yang paling banyak digunakan karena memang bentuk inilah yang paling efektif untuk mencegah kehamilan (Baziad, 2002).
KB pil merupakan metode yang paling populer. Menurut data PKBI, pil KB menduduki peringkat pertama dengan nilai rata-rata 38,74%. Sedangkan data nasional di Indonesia sampai bulan Februari 2003, pil KB menduduki tempat kedua sebanyak 34,57% dari 652.562 peserta KB. Akan tetapi banyak mitos berkembang seputar pil KB. Bahkan di negara maju seperti Amerika Serikat (AS), masih diliputi mitos seperti pil KB menyebabkan kegemukan, atau membuat kandungan kering. Survei Women's Health di AS menyatakan 61 % responden percaya bahwa pil KB menaikkan berat badan. Faktanya, tidak semua pil KB menyebabkan peningkatan berat badan (Christina, 2003).
Keputusan metode dan pemilihan alat kontrasepsi yang akan digunakan pada setiap klien bergantung pada sejumlah faktor. Faktor yang mempengaruhi keputusan tersebut berupa kepentingan pribadi, pertimbangan kesehatan, biaya, dan lingkungan budaya. Faktor-faktor spesifik ini serta tingkat kepentingan relatifnya berbeda dari satu pasangan ke pasangan lain. Pada banyak kasus, faktor-faktor ini dapat dipengaruhi, baik secara positif maupun negatif, oleh aktifitas program. Selain itu, faktor-faktor yang menentukan pemilihan dapat berubah seiring dengan bertambahnya usia reproduksi klien sehingga diperlukan reevaluasi terhadap metode apa yang paling baik untuk memenuhi individual kebutuhan klien (Wulansari, 2006).
Pemakaian Pil KB di Indonesia menempati urutan kedua setelah suntik, dimana penggunaan tertinggi ada di propinsi Sulawesi Utara sekitar 50,3%, disusul propinsi Aceh sekitar 47,4%, dan di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sendiri sekitar 12% (BKKBN, 2000 Cit. Baequny, 2001). Data peserta KB di wilayah kerja Puskesmas Pleret pada tahun 2008 adalah KB suntik sekitar 37,6%, pil sekitar 37,2%, kondom 11,1%, implant 9,2%, dan IUD sekitar 4,9%. Sedangkan pada bulan januari tahun 2009, KB pil menduduki peringkat pertama yaitu sekitar 50%, diikuti KB suntik sekitar 31,3%, kondom 14,7%, IUD 2% dan implant sekitar 2%. Hal tersebut menunjukkan adanya perbedaan pola pemilihan alat kontrasepsi pada tahun 2008 dan 2009 di wilayah kerja Puskesmas Pleret. Di samping itu, masih ada ibu yang berumur lebih dari 45 tahun yang menggunakan KB pil. Padahal penggunaan KB pil pada umur lebih dari 45 tahun tidak disarankan karena dapat mempengaruhi siklus mentstruasi pada pengguna.
Melihat data di atas terlihat bahwa penggunaan pil KB di wilayah kerja Puskesmas Pleret Yogyakarta pada tahun 2009 sangat tinggi dibanding alat kontrasepsi lainnya. Sehingga penulis menganggap perlunya penelitian mengenai gambaran faktor yang mempengaruhi pemilihan KB pil pada akseptor KB pil di wilayah kerja Puskesmas Pleret Yogyakarta.
Meskipun Indonesia telah melaksanakan program Keluarga Berencana (KB) sejak tahun 1970-an, sampai saat ini belum tercapai angka ideal kelahiran. Angka kelahiran saat ini mencapai 2,6% anak per wanita, belum mencapai angka ideal, yaitu 2,1% anak per wanita. Masyarakat yang berpendidikan rendah dan miskin cenderung memiliki tingkat kelahiran lebih tinggi. Sehingga, perhatian kepada masyarakat miskin masih tetap diperlukan. Untuk mencapai angka kelahiran ideal, jumlah akseptor keluarga berencana (KB) perlu ditingkatkan satu persen setiap tahun agar terjadi keseimbangan jumlah penduduk (Sianturi, 2005).
Pelaksanaan program KB, pemerintah telah memasyarakatkan metode alat kontrasepsi. Sesungguhnya sampai saat ini belum ada satu pun metode yang betul-betul ideal dan sesuai bagi setiap individu. Akseptor KB dengan metode apapun menghendaki agar cara kontrasepsi yang digunakan dapat berfungsi secara optimal dan tidak mengganggu aktifitas sehari-hari, serta efek samping yang sangat rendah. Berdasarkan hasil studi di Propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur (2001), efek samping kontrasepsi terbanyak yang diketahui adalah pil (28,8%), suntikan (24,9%), IUD (15,3%), kondom (6,1%), dan vasektomi (4,3%), sedangkan efek samping yang banyak dikeluhkan adalah mual, timbulnya jerawat, dan penambahan berat badan (BKKBN, 2003 Cit. Andayani, 2008).
Pemilihan alat kontrasepsi pada umumnya merupakan satu keputusan yang dilandaskan berbagai pertimbangan dari akseptor serta berkaitan dengan pilihan pribadi. Banyak wanita harus menentukan pilihan kontrasepsi yang sulit. Tidak hanya karena terbatasnya jumlah metode yang tersedia, tetapi juga karena metode-metode tersebut mungkin tidak dapat diterima sehubungan dengan kebijakan nasional KB, kesehatan individual, dan seksualitas wanita atau biaya untuk memperoleh kontrasepsi. Pemilihan suatu metode ber-KB pada wanita harus menimbang berbagai faktor, termasuk status kesehatan mereka, efek samping potensial suatu metode, konsekuensi terhadap kehamilan yang tidak diinginkan, besarnya keluarga yang diinginkan, kerjasama pasangan, dan norma budaya mengenai kemampuan mempunyai anak. Setiap metode mempunyai kelebihan dan kekurangan. Namun demikian, meskipun telah mempertimbangkan untung rugi semua kontrasepsi yang tersedia, tetap saja terdapat kesulitan untuk mengontrol fertilitas secara aman, efektif, dengan metode yang dapat diterima, baik secara perseorangan maupun budaya pada berbagai tingkat reproduksi. Tidaklah mengejutkan apabila banyak wanita merasa bahwa penggunaan kontrasepsi terkadang problematis dan mungkin terpaksa memilih metode yang tidak cocok dengan konsekuensi yang merugikan atau tidak menggunakan metode KB sama sekali (Anonim, 2008).
Kontrasepsi hormonal merupakan salah satu metode kontrasepsi yang paling efektif dan reversibel untuk mencegah terjadinya konsepsi. Kebanyakan kontrasepsi hormonal diberikan secara oral. Sediaan yang mengandung progesteron saja dapat berupa pil, depo dalam bentuk injeksi. Kontrasepsi oral adalah jenis kontrasepsi yang paling banyak digunakan karena memang bentuk inilah yang paling efektif untuk mencegah kehamilan (Baziad, 2002).
KB pil merupakan metode yang paling populer. Menurut data PKBI, pil KB menduduki peringkat pertama dengan nilai rata-rata 38,74%. Sedangkan data nasional di Indonesia sampai bulan Februari 2003, pil KB menduduki tempat kedua sebanyak 34,57% dari 652.562 peserta KB. Akan tetapi banyak mitos berkembang seputar pil KB. Bahkan di negara maju seperti Amerika Serikat (AS), masih diliputi mitos seperti pil KB menyebabkan kegemukan, atau membuat kandungan kering. Survei Women's Health di AS menyatakan 61 % responden percaya bahwa pil KB menaikkan berat badan. Faktanya, tidak semua pil KB menyebabkan peningkatan berat badan (Christina, 2003).
Keputusan metode dan pemilihan alat kontrasepsi yang akan digunakan pada setiap klien bergantung pada sejumlah faktor. Faktor yang mempengaruhi keputusan tersebut berupa kepentingan pribadi, pertimbangan kesehatan, biaya, dan lingkungan budaya. Faktor-faktor spesifik ini serta tingkat kepentingan relatifnya berbeda dari satu pasangan ke pasangan lain. Pada banyak kasus, faktor-faktor ini dapat dipengaruhi, baik secara positif maupun negatif, oleh aktifitas program. Selain itu, faktor-faktor yang menentukan pemilihan dapat berubah seiring dengan bertambahnya usia reproduksi klien sehingga diperlukan reevaluasi terhadap metode apa yang paling baik untuk memenuhi individual kebutuhan klien (Wulansari, 2006).
Pemakaian Pil KB di Indonesia menempati urutan kedua setelah suntik, dimana penggunaan tertinggi ada di propinsi Sulawesi Utara sekitar 50,3%, disusul propinsi Aceh sekitar 47,4%, dan di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sendiri sekitar 12% (BKKBN, 2000 Cit. Baequny, 2001). Data peserta KB di wilayah kerja Puskesmas Pleret pada tahun 2008 adalah KB suntik sekitar 37,6%, pil sekitar 37,2%, kondom 11,1%, implant 9,2%, dan IUD sekitar 4,9%. Sedangkan pada bulan januari tahun 2009, KB pil menduduki peringkat pertama yaitu sekitar 50%, diikuti KB suntik sekitar 31,3%, kondom 14,7%, IUD 2% dan implant sekitar 2%. Hal tersebut menunjukkan adanya perbedaan pola pemilihan alat kontrasepsi pada tahun 2008 dan 2009 di wilayah kerja Puskesmas Pleret. Di samping itu, masih ada ibu yang berumur lebih dari 45 tahun yang menggunakan KB pil. Padahal penggunaan KB pil pada umur lebih dari 45 tahun tidak disarankan karena dapat mempengaruhi siklus mentstruasi pada pengguna.
Melihat data di atas terlihat bahwa penggunaan pil KB di wilayah kerja Puskesmas Pleret Yogyakarta pada tahun 2009 sangat tinggi dibanding alat kontrasepsi lainnya. Sehingga penulis menganggap perlunya penelitian mengenai gambaran faktor yang mempengaruhi pemilihan KB pil pada akseptor KB pil di wilayah kerja Puskesmas Pleret Yogyakarta.
Untuk Selengkapnya Silahkan Download secara GRATIS, klick dibawah :